Selasa, 10 November 2015

TUGAS ISD MAKALAH KE - 2




Topik Makalah

Analisis SWOT Masalah Sosial Paedofil

 


Kelas  :  2-ID15

Tanggal Penyerahan Makalah : 9 November 2015
Tanggal Upload Makalah  :  10 November 2015



 

P E R N Y A T A A N

Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam penyusunan makalah ini saya buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim / pihak lain.

Apabila terbukti tidak benar, saya siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.



P e n y u s u n



N P M
Nama Lengkap
Tanda Tangan
3A414594
Syamsul Hudha








Program Sarjana Teknologi Industri


UNIVERSITAS GUNADARMA






KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, karena tanpa rahmat dan ridho-Nya, saya tidak dapat menyelesaikan mekalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Burhan Amin selaku dosen pengajar softskill yang membimbing saya dalam pengerjaan tugas makalah ini. Dalam makalah ini saya menjelaskan tentang “Analisis SWOT Masalah Sosial Paedofil”.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum saya ketahui. Maka dari itu saya mohon saran & kritik dari bapak dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.




Bekasi, 4 Oktober 2015


Penulis













DAFTAR ISI

PERNYATAAN......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
      Latar Belakang ........................................................................................................... 1
      Tujuan......................................................................................................................... 1
      Sasaran ....................................................................................................................... 1
BAB II PERMASALAHAN..................................................................................... 2
      Kekuatan .................................................................................................................... 7
      Kelemahan ................................................................................................................. 7
      Peluang ...................................................................................................................... 7
      Tantangan .................................................................................................................. 7
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................... 8
      Kesimpulan ............................................................................................................... 8
      Rekomendasi ............................................................................................................ 8
REFENSI ................................................................................................................ 9


 BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai hawa nafsu. Setiap manusia mempunyai hawa nafsu yang berbeda beda tentunya, ada manusia yang mampu mengontrol dan mengendalikan hawa nafsunya dan ada juga manusia yang mudah terpancing hawa nafsunya. Sifat manusia yang mudah terpancing hawa nafsunya itulah yang harus kita hindari, karena dapat membahayakan baik diri sendiri ataupun orang lain
Manusia harus dapat mengontrol hawa nafsunya, terutama nafsu birahi. Nafsu birahi yang tidak terkontrol akan menyebabkan hal hal yang menjurus ke dalam pelecehan seksual contohnya pemerkosaan. Nafsu birahi tersbut dapat memancing seseorang berbuat nekat seperti melakukan pelecehan terhadap anak dibawah umur atau yang biasa kita kenal dengan sebutan “Paedofil”.
Seandainya setiap manusia dapat mengontrol hawa nafsunya, mungkin kejadian seperti paedofil tidak aka nada didunia ini.
1.2.      Tujuan
Belakangan ini kita sering mendengar berita di media media tentang pelecehan seksual, dan yang sedang marak-maraknya adalah kasus paedofil yang terkadang semua itu dilakukan oleh orang orang dekat si korban. Untuk itu saya akan mencoba mengangkat topik tentang “masalah social paedofil” dalam makalah yang saya buat ini.
Makalah yang saya buat ini bukan semata hanya tugas dari dosen saja, melainkan untuk membuat orang-orang yang membaca makalah saya ini mengerti akan dampak dari paedofil,  dapat mengetahui ciri ciri paedofil supaya dapat melindungi diri, keluarga ataupun kerabat.
1.3.      Sasaran
Saya berharap agar masyarakat sadar akan bahayanya paedofil, sehingga dapat lebih waspada terhadap perilaku orang orang yang mencurigakan. Mengerti bagaimana cara menjaga keluarga dari para peaku paedofil.
Setidaknya diri kita dapat memahami apa itu paedofil, bagaimana cara menghidarinya. Jadi dapat melindungi keluarga kita ataupun orang lain.


BAB II
PERMASALAHAN
MASALAH SOSIAL PAEDOFIL

Dipancing "Bocah Perempuan", 20.000 Paedofil Mendekat
Kelompok hak asasi anak dari Belanda, Terre des Hommes, melakukan penelitian untuk memancing para pelaku pariwisata seks anak melalui webcam atau webcam child sex tourism(WCST). Para paedofil itu dipancing dengan anak perempuan virtual.
Karakter anak itu didesain dengan metode tiga dimensi (3D), memiliki perawakan Filipina, berusia 10 tahun, dan diberi nama "Sweetie". Karakter virtual itu dikendalikan oleh para peneliti Terre des Hommes di Amsterdam, Belanda.
Untuk memulai penelitian, Sweetie memasuki ruang bincang publik di internet (public chat room). Dalam kurun waktu relatif singkat, lebih dari 20.000 paedofil dari seluruh dunia mendekati Sweetie dan memintanya melakukan aksi seksual melalui webcam perangkat komputer.
Para peneliti Terre des Hommes merekam pembicaraan dan interaksi para paedofil dengan Sweetie. Kemudian, para peneliti mengumpulkan informasi pribadi pelaku kekerasan seksual pada anak itu melalui akun media sosial.
Kesimpulan penelitian Terre des Hommes menunjukkan, 1.000 orang dewasa dari 71 negara terlibat dalam pariwisata seks anak melaluiwebcam.
Menurut data PBB dan FBI, setiap saat ada 750.000 pelaku kekerasan seksual anak yang terhubung dengan internet.
Di wilayah Asia Tenggara, banyak anak dari Filipina yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan secara online dari webcamperangkat komputer.
Country Manager Terre des Hommes Indonesia Sudaryanto mengatakan, kekerasan seksual macam ini sedang meningkat di beberapa lokasi di Filipina, baik itu atas kemauan si anak sendiri, diorganisasi oleh orang dewasa, ataupun diminta oleh orangtuanya.
Di Indonesia, setidaknya terlacak tiga pelaku yang mengeksploitasi anak dengan praktik kekerasan seksual melalui webcam. "Kami tak bisa memastikan apakah itu warga negara Indonesia atau bukan. Kami juga tak bisa melacak posisi pastinya. Tapi yang jelas kekerasan seksual pada anak melalui media online akan terus berkembang dari sisi teknologi ataupun modusnya," katanya.
Meskipun kekerasan seksual pada anak melalui webcam dilarang oleh kebanyakan hukum nasional dan internasional, kenyataannya hanya 6 pelaku yang sudah dipidana di seluruh dunia.
Terre des Hommes berpendapat, masalah terbesar adalah, pihak polisi tidak mengambil tindakana apa pun jika tak ada korban anak yang melaporkan kasus tersebut. Namun, pada kenyataannya juga, hampir semua anak tidak pernah melaporkan bentuk kekerasan tersebut.
Regional Operations Manager Terre des Hommes South East Asia Rini Murwahyuni berpendapat, pemerintah dan penegak hukum dapat melakukan investigasi dan pro-aktif berpatroli di hotspot internet umum yang sering digunakan untuk melakukan kekerasan seksual pada anak lewat webcam.
Rini mengatakan, efek psikologis yang diterima anak korban kekerasan seksual secara online sama dengan anak korban kekerasan seksual fisik. Korban mengalami masalah rendah diri akut, harga diri tercerabut, merasa tidak berarti lagi, dan menunjukkan gejala stres pasca-trauma.


Paedofil di Sekitar Kita
            Terungkapnya kasus paedofilia, pertengahan April lalu, di Jakarta International School, Jakarta Selatan, menunjukkan lengahnya perlindungan bagi anak bangsa. Meski paedofilia bukan hal baru dan sering terjadi di Indonesia, negara selalu lupa berbenah. Akibatnya, paedofil terus memakan korban.Prevalensi orang dengan gangguan paedofilia di Eropa dan Amerika mencapai 1-3 persen dari seluruh populasi,” kata Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti, di Jakarta, Jumat (25/4). Dengan asumsi prevalensi sama dan jumlah penduduk 250 juta, ada 2,5-7,5 juta paedofil di Indonesia.
Asosiasi Psikiatri Amerika (APA, 2000) mendefinisikan paedofilia sebagai minat seksual yang menetap, kuat, dan berulang terhadap anak pra pubertas, berumur kurang dari 13 tahun. Minat itu muncul intensif minimal enam bulan dalam bentuk pikiran, fantasi, dorongan, gairah, atau aktivitas seksual.
Jika minat itu tak tersalurkan, mereka akan stres, tertekan, dan mengalami berbagai kesulitan interpersonal yang membuatnya sulit bersosialisasi dan mengendalikan emosi. Sikiater Konsultan di RSUD Dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Nalini Muhdi menambahkan, paedofil minimal berusia 16 tahun dan beda umur dengan korbannya minimal 5 tahun.
Ciri paedofil adalah jika korbannya dipaksa atau tak mampu membuat keputusan karena usia belum matang. ”Remaja yang melakukan aktivitas seksual atas dasar saling suka tak disebut paedofilia,” ujarnya.
Anak jadi sasaran seksual karena seorang paedofil akan cemas, takut, kurang percaya diri, dan tak nyaman berinteraksi atau beraktivitas seksual dengan orang dewasa. Anak dipilih karena mereka biasanya lemah, tak berdaya, penurut, dan mudah dibujuk atau diancam.
Gangguan paedofilia mulai terdeteksi saat seseorang menginjak remaja. Namun, manifestasinya bisa muncul saat mereka dewasa, bahkan lansia. Tergantung faktor pemicunya. Walau tertarik kepada anak, sebagian besar paedofil juga tertarik secara seksual kepada orang dewasa (paedofil non-eksklusif). Sebagian besar paedofil adalah laki-laki, tetapi perempuan juga bisa jadi paedofil. Manifestasi perilaku paedofil perempuan beragam, bisa dalam bentuk membantu paedofil laki-laki melakukan kekerasan seksual hingga menganiaya korban untuk mendapat kepuasan seksual.
Luh Ketut Suryani dan Cokorda Bagus Jaya Lesmana dalam Pedofil Penghancur Masa Depan Anak (2009) menyebut sasaran paedofil beragam, mulai anak yang matang fisiknya (teleiofilia), anak berumur kurang dari 5 tahun (infantofilia), atau anak di awal masa pubertas (hebofilia/hebefilia).

Penyebab
Paedofilia bisa dipicu banyak hal. Semasa kanak-kanak, ketertarikan seksual bisa muncul dan termanifestasikan saat bermain. Itu normal. Namun, jika dihayati anak sebagai pengalaman berarti dan berulang hingga remaja, maka gangguan paedofilia bisa muncul karena anak tak bisa memindahkan ketertarikannya kepada orang dewasa. ”Orangtua dan pengasuh berperan besar mengarahkan dan menjelaskan permainan itu agar tak berlebihan dan tak berulang,” tutur Dinastuti.
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak, termasuk paedofil, cenderung pernah mengalami kekerasan seksual saat kanak-kanak. Namun, kecenderungan itu tak berlaku semua. Bukan sebab akibat.
Pengalaman kekerasan seksual semasa kanak-kanak itu bisa muncul saat dewasa atau lansia hingga mencari anak untuk melakukan aktivitas seksualnya. Pemicunya, tulis Suryani dan Lesmana, bisa karena penderitaan atau penghinaan dari pasangan atau kegagalannya dalam menjalankan fungsi di masyarakat, pekerjaan, atau keluarga.
Paedofilia juga bisa dipicu abnormalitas otak sehingga muncul gangguan perkembangan saraf dan mekanisme kerja otak. Abnormalitas otak bisa disebabkan gangguan otak anak sejak di kandungan, cedera kepala, atau tumor otak. Namun, gangguan itu tak selalu dapat diperiksa.
Dinastuti mengatakan, paedofil biasanya berhati-hati dalam beraktivitas. Sebab, secara universal, dorongan seksual terhadap anak adalah terlarang dan tabu. Internet jadi alat efektif untuk mencari informasi, gambar, atau video calon korban.
Setelah target didapat, mereka dengan sabar menjalin relasi pertemanan, banyak memuji, dan memberi hadiah. Setelah rasa percaya korban kepada pelaku terbangun, anak akan diminta pelaku melakukan aktivitas seksual secara bertahap, mulai dari sentuhan, membuka baju, sampai aktivitas seksual sesungguhnya, seperti seks oral, anal, ataupun vaginal.
Pelaku biasa mencari calon korban di lingkungan rumah atau tempat anak beraktivitas karena kemudahan mencari korban dan minimnya pengawasan. Mereka bisa ada mulai di rumah, sekolah, jalanan, hingga komunitas keagamaan.

Terapi
Menurut Nalini, paedofil adalah istilah psikiatri, bukan hukum. Paedofil tak dapat dihukum jika mereka tak merugikan orang lain. Oleh karena itu, paedofil harus diterapi agar gangguannya bisa diatasi dan dipulihkan. Dengan demikian, saat dorongan seksualnya muncul, bisa dikendalikan atau disalurkan dengan cara positif yang tak merugikan orang lain.

Untuk memastikan seseorang mengalami paedofilia, kata Dinastuti, mereka perlu menjalani pemeriksaan psikologis komprehensif lebih dulu. Tak bisa langsung dituduh paedofil.
Jika sudah dipastikan paedofil, tambah Nalini, penyebabnya perlu dipastikan dulu. Faktor biologis pemicunya, seperti gangguan neurologis, hormon, atau kromosom, harus dituntaskan. ”Bila faktor biologis sudah tidak ada, baru psikoterapi,” katanya. Keberhasilan terapi ditentukan banyak hal. Makin muda usia paedofil saat diterapi, tingkat keberhasilannya kian tinggi. Pengalaman kekerasan seksual di masa kecil akan mempersulit terapi. Motivasi sang paedofil untuk berubah juga penting. ”Dukungan sosial orangtua dan lingkungan berperan besar,” ujarnya. Oleh karena itu, orangtua tak perlu malu melaporkan pelaku kekerasan seksual atas anaknya. Keberanian itu bisa mempermudah terapi anak dan memutus rantai kekerasan seksual kepada anak.
Negara juga perlu lebih peduli, tak bisa terus mengabaikan kekerasan seksual terhadap anak karena itu kejahatan kemanusiaan yang keji dan merusak masa depan anak. Negara tak boleh menyalahkan korban, tetapi justru memfasilitasi korban dan keluarganya agar tak malu melaporkan kekerasan yang dialami dan memberi terapi kepada mereka.

Sumber:
http://health.kompas.com/read/2014/04/26/1559527/Paedofil.di.Sekitar.Kita






















1.            Kekuatan (Strength)
  1. Memberikan hukuman yang membuat efek jera terhadap pelakunya
  2. Mempelajari ciri ciri paedofil
  3. Memperketat penjagaan terhadap anak di bawah umur
  4. Mengetahui cara menghindari anak para pelaku paedofil
2.            Kelemahan (Weakness)
  1. Lemahnya perlindungan bagi anak bangsa
  2. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya
  3. Tidak adanya kepekaan keluarga terhadap perilaku anak yang menyimpang
  4. Tidak adanya sanksi tegas terhadap para pelaku
3.            Peluang (opportunity)
  1. Keadaan lingkungan yang sepi
  2. Fasilitas modern yang menunjang
  3. Kemampuan pelaku untuk membujuk si korban
  4. Ruang gerak pelaku yang sangat luas
4.            Tantangan/Hambatan (Threats)
  1. Pemerintah tidak berani mengambil tindakan untuk para pelaku
  2. Ketidakpastian hukuman untuk para pelaku
  3. Teknologi modern yang memudahkan askes para pelaku
  4. Kesibukan orang tua













BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.            KESIMPULAN
  1. Setiap masyarakat harus mengontrol anak atau keluarga yang masih di bawah umur
  2. Setiap masyarakat mampu mengetahui ciri-ciri paedofil
  3. Setiap masyarakat lebih peka terhadap kelainan perilaku seseorang (perilaku tidak normal)
  4. Pemerintah segera menetapkan hukuman yang setimpal untuk para pelaku
2.            REKOMENDASI
  1. Mempelajari ciri ciri paedofil
  2. Meningkatkan perlindungan bagi anak bangsa
  3. Memantau keadaan lingkungan
  4. Menetapkan hukuman untuk para pelaku



















REFENSI:
http://health.kompas.com/read/2014/04/26/1559527/Paedofil.di.Sekitar.Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar