Minggu, 22 Maret 2015

Pengadilan Negeri Tenggarong

TUGAS KEWARGANEGARAAN
Pengadilan Negeri Tenggarong

PENDAHULUAN
                Pada prinsipnya lembaga praperadilan masih relevan dipertahankan dan tidak perlu diganti dengan hakim komisaris. Hanya saja aturan-aturan tentang praperadilan di dalam KUHAP perlu disempurnakan. Ada dua hal penting yang perlu direvisi supaya jangan menjadi dilema dalam praktik.
                Adapun yang pertama ialah tentang putusan gugur. Menurut Pasal 82 Ayat (1) huruf d KUHAP, apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa. Benar, bahwa tentang sah-tidaknya penangkapan atau penahanan yang tadinya dimohonkan praperadilan bisa saja diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pokok, sehingga tidak menjadi masalah andaikan praperadilan dinyatakan gugur karena perkara pokok sudah mulai diperiksa. Akan tetapi alangkah mubazirnya lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya dengan alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan gugur.
                Ketentuan ini menjadi celah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara buru-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Karena pelimpahan itu tidak matang, akibatnya berkas perkara (khususnya surat dakwaan) yang diajukan ke pengadilan merupakan berkas perkara yang asal jadi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi misalnya kalau tindakan seperti ini dilakukan dalam menangani kasus-kasus megakorupsi, narkoba atau terorisme. Tidakkah hal ini akan membuat wajah penegakan hukum di negeri ini semakin buram?
                Mestinya ketentuan ini dihapuskan. Perlu diberi kesempatan yang seluasluasnya kepada pengadilan untuk memutus substansi setiap praperadilan. Lagi pula tenggat pemeriksaan praperadilan sudah dibatasi selama tujuh hari, mengapa kesempatan yang sangat singkat itu pun harus dirampas hanya dengan alasan telah dimulainya pemeriksaan perkara pokok oleh pengadilan negeri.
                Sebagai negara yang berdasar atas hukum, kita harus konsekuen menerapkan praperadilan sebagai lembaga pengawasan horizontal oleh pengadilan negeri yang tidak setengah hati terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Apabila masih ada putusan gugur terhadap praperadilan hanya dengan alasan klise perkara pokok sudah mulai diperiksa, dikhawatirkan tujuan pengawasan itu tidak akan pernah tercapai. Dampaknya ialah bahwa kepolisian dan kejaksaan merasa aman-aman saja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum tanpa pernah merasa dapat diawasi sekalipun pengawasan itu diberikan berdasarkan undang-undang. Yang dirugikan adalah pihak yusticiabelen (pencari keadilan). Dan lagi pula, andaikan hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum tidak sah, hal tersebut tidak berdampak terhadap substansi perkara pokoknya. Sebab sesaat setelah putusan praperadilan memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan lantaran penahanan tidak sah (misalnya), saat itu juga pihak berwajib dapat melakukan penangkapan atau penahanan yang sah terhadapnya.
                Yang kedua ialah tentang upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Setelah keluarnya UU Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf a sudah tegas diatur bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi. Jadi kenyataanya Putusan Praperadilan itu tidak memuat pertimbangan hakim, tetapi ditolak karena sudah memasuki pokok perkara, atau digugurkan karena perkara pokok sudah dilimpahkan di Pengadilan Negeri. Sehingga bagi pencari keadilan mengenai tentang syah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, itu selalu syah karena apabila praperadilan ditolak berarti penangkapan dan penahanan syah, apabila digugurkan penangkapan dan penahanan juga syah. Mengingat Putusan Praperadilan itu final, tidak bisa dimintakan banding, kasasi ataupun PK.Sepanjang penelitian penulis tidak ada permohonan praperadilan yang dikabulkan. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah tujuan dan filosofis eksistensi lembaga praperadilan dalam system peradilan pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah implementasi lembaga praperadilan untuk perlindungan hokum hak-hak tersangka khususnya perlindungan dari upaya paksa?
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji tujuan dan filosofis eksistensi lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
2. Untuk mengetahui dan mengkaji implementasi lembaga praperadilan untuk perlindungan hukum hak-hak tersangka khususnya perlindungan dari upaya paksa.




METODE PENELITIAN
1.       Jenis Penelitian
                Penelitian tentang implementasi lembaga praperadilan untuk perlindungan hukum hak-hak tersangka ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian dengan mendasarkan pada data primer sebagai sumber data utamanya dan data sekunder sebagai pelengkap.
2.       Pendekatan Penelitian
                Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan yuridis sosiologis (socio-logical research). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dipergunakan untuk mengkaji dan menganalisis data penelitian dari sudut pandang undang-undang. Pendekatan yuridis sosiologis (socio-logical research) artinya melakukan pengkajian terhadap aturan-aturan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan penelitian diarahkan pada fungsi hukum dalam masyarakat dikaitkan dengan hukum nasional positif yang berlaku di Indonesia. Persoalanpersoalan yang terjadi dalam bidang hukum adalah masalah-masalah sosial yang memerlukan pendekatan secara sosiologis untuk menganalisa masalah-masalah hukum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.       Tujuan dan Filosofis Eksistensi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
                Ketentuan ini membatasi wewenang Praperadilan karena proses pemeriksaan Praperadilan ”dihentikan” dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana pokoknya mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Kalau proses Praperadilan yang belum selesai lalu dihentikan dan perkaranya yang sedang diperiksa menjadi dianggap gugur atas dasar alasan teknis karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, yang bukan alasan prinsipiil, maka tujuan Praperadilan menjadi tidak berfungsi, kabur dan hilang. Karena tujuan Praperadilan memberikan keputusan penilaian hukum tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang keputusannya menjadi dasar untuk membebaskan tersangka dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah serta tuntutan ganti rugiUntuk menjamin agar KUHAP dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan, maka dalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama PRAPERADILAN. Praperadilan memberi wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan penggunaan "upaya paksa" seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, yang dilakukan oleh Penyidik dan atau Penuntut umum.
                Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat. Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.
                Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa.Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
1. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka,
2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
                Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka. Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakkan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang.
                Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan miring kontroversial menyangkut pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang diderita pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti kerugian.
                Menurut H. Madli ( selaku panitera Muda Pidana ) menyatakan, bahwa terhadap pemeriksaan Praperadilan sejauh nii tidak ada yang diputus dikabulkan, amar putusanya kalau tidak ditolak, berarti digugurkan. Seperti Perkara No. Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr pemohon Arifudin Semangga als Datuk yang diputus Gugur.
                Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hokum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak hokum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
                Pedoman yang menentukan kewenangan mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri atau yang ditinjau dari segi Kompetentie Pengadilan sebagaimana diatur di dalam Bab X Bagian II Pasal 84 yang menyatakan:
Ayat (1) :              Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala mengenai tindak pidana yang dilakukan                                                di daerah hukumnya
Ayat (2) :              Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,                                             berdiam terakhir, di tempat dia diketemukan atau ia ditahan, hanya berwenang                                                               mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi                                     yang dipandang lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu dan pada tempat                                        kedudukan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tindak pidana itu                                                  dilakukan.
                Berdasarkan ketentuan Pasal 124 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 77 jo. Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981/KUHAP dimana kewenangan Pengadilan Negeri Tenggarong yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap kasus Praperadilan yang telah dilakukan oleh Termohon yang telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon yang dituduh/disangka telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Kenyataannya Pemohon pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2012 betul terbukti membawa senjata tajam (parang/mandau), akan tetapi perbuatan Pemohon bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana sebagaimana dimaksudkan oleh Termohon. Karena Termohon mengenai pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan pemohon dalam Surat Permohonannya pada pokoknya mendalilkan bahwa, Permohonan Praperadilan ini masuk dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Tenggarong dengan alasan bahwa penangkapan dan penahanan masuk dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Tenggarong. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, kemudian Pasal 78 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa yang melaksanakan wewenang tersebut adalah Praperadilan. Selanjutnya Pasal 84 ayat (1) dan (2) KUHAP menentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya atua bisa pula di luar daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, atau tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri tersebut daripada Pengadilan Negeri di dalam daerahnya tindak pidana dilakukan.5
                Menurut Wahyudi Said, SH., MH, selaku Wakil Ketua PN Tenggarong (Hakim yang memeriksa Praperadilan No. 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga), berpendapat bahwa ada kemungkinan kesalahan adalah berasal dari gugatan atau tuntutan dari pemohon itu sendiri, ada kemungkinan pemohon kurang begitu memahami berbagai hal yang termasuk kajian dalam Praperadilan karena apa yang dilakukan oleh Hakim adalah selalu berdasar pada aturan yang berlaku yaitu KUHAP. Menanggapi statistik tentang Praperadilan yang ada maka Wahyudi Said, SH., MH, menyatakan kalau memang dalam kenyataan memang banyak yang ditolak seharusnya pemohon harus mengerti bahwa itulah kenyataan yang sebenarbenarnya, pemohon harus introspeksi, berbesar hati terhadap kenyataan tersebut, dan harus lebih menguasai serta memahami karakteristik dari KUHAP atau Praperadilan itu sendiri, tidak boleh menyalahkan pihak lain tanpa adanya bukti yang konkrit, jangan sampai menyalahkan sesuatu yang memang merupakan realita yang sebenar-benarnya terjadi. Apabila dalam kenyataan menurut Undang-Undang permohonan Praperadilan tersebut memang harus ditolak hal tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat hanya untuk membela satu pihak, hakim selaku orang yang memutuskan harus memutuskan seadil-adilnya dan bertindak sesuai dengan Undang-Undang.
                Hal yang juga paling sering dituduhkan pada lembaga Praperadilan ini adalah bahwa putusan Hakim selalu dicampuri oleh pihak penegak hukum yang terkait dalam Praperadilan seperti dari pihak termohon Praperadilan. Hal ini merupakan indikasi lumpuhnya fungsi Praperadilan. Artinya yang berlaku bukanlah fungsi “check and balance” atau saling control diantara sesama aparat penegak hokum tetapi fungsi hukum yang menghilangkan obyektifitas antar sesama aparat penegak hukum dan penegakan keadilan yang menjadi tujuannya akan berubah menjadi suatu bentuk kerja sama untuk saling mengamankan dan menghalalkan segala cara.
                Menanggapi hal tsb, Wahyudi Said, SH., MH beranggapan tuduhan-tuduhan seperti itu sangat tidak beralasan dan tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak ada bukti. Jika kita memahami hukum maka apabila kita menuduh sesuatu maka harus ada bukti yang kuat atau awalnya ada bukti permulaan yang cukup. Menurutnya Pengadilan adalah lembaga yang memiliki wibawa yang besar. Didalamnya pasti terdapat orang-orang yang mempunyai komitmen besar untuk bertanggung jawab yang menjaga wibawa Pengadilan tersebut apalagi kini ada kode etik profesi, pasti masing-masing profesi hukum mampu menjaga agar tidak menyalahi kode etik tersebut karena yang dituduhkan seperti tindakan diatas juga termasuk pelanggaran kode etik profesi jadi sangat kecil tuduhan itu benar terjadi.
                Dalam praktek terjadi pengajuan permohonan Praperadilan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan.Yang terjadi sebelum pemeriksaan dalam Praperadilan selesai, perkara pidana pokoknya diajukan/dilimpahkan ke meja Pengadilan dan terkesan tergesa-gesa disidangkan sehingga gugatan Praperadilan menjadi gugur dan berakibat tersangka tetap dalam tahanan, adahal ada kemungkinan Praperadilan akan memberi putusan (penetapan) bahwa penangkapan atau penahanan tersebut tidak sah.
                Apabila proses pemeriksaan Praperadilan didasarkan semata hanya karena masalah teknis saja maka akan mudah untuk menggagalkan dan menggugurkan permohonan praperadilan. Misal dengan segera memasukkan perkara pidana pokoknya ke pengadilan maka otomatis pemeriksaan praperadilan menjadi gugur, meskipun tersangka sudah menjadi korban praktek penahanan yang tidak sah. Hal seperti inilah dianggap sesuatu yang tidak adil bagi para pemohon Praperadilan.
                Menanggapi permasalahan tentang gugurnya tuntutan/gugatan Praperadilan seperti diatas, Wahyudi Said, SH., MH, mengatakan bahwa jika memang gugatan tersebut memang kemudian gugur karena perkara pidana pokoknya dilimpahkan maka hal tersebut tidak bisa dipersalahkan karena hal seperti tersebut memang sudah diatur dalam KUHAP yakni Pasal 82 ayat (1) d KUHAP.Apabila kemudian Hakim melanggar hal tersebut dengan tidak menggugurkan gugatan Praperadilan justru akan membuat suatu masalah karena Hakim sebagai alat Negara dalam menegakkan hukum justru tidak menerapkan aturan yang dibuat oleh Negara, karena Hakim dalam memutuskan harus berdasar pada aturan yang dibuat Negara yakni dalam hal ini adalah KUHAP sebagai pedomannya. Apabila dilihat Pasal 82 ayat (1) KUHAP memang sepertinya terkesan masih sangat melindungi para penegak hukum yang terkait dalam masalah Praperadilan karena begitu mudahnya atau masih ada celah bagi penegak hukum untuk menghindar dari jeratan hukum itu sendiri. Sepertinya terkesan masih ada perlindungan bagi penegak hukum yang melakukan kesalahan dalam tindakannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang benar. Mengamati praktek-praktek seperti itu, sudah waktunya untuk ditinjau dan diperbarui kembali yang substansinya merugikan pencari keadilan, kalau tidak ingin orang mengatakan bahwa lembaga praperadilan adalah lembaga dengan bayangan semu sebuah idealisme hukum yang mustahil terwujud dalam realitas atau dalam kenyataan.
                Pada dasarnya apabila ada penangkapan terhadap seseorang, jika memenuhi syarat-syarat penangkapan atau penahanan maka kita sebagai warganegara yang taat hukum harus mematuhinya. Masalah kita terbukti bersalah atau tidak itu menjadi masalah lain. Jika memang kita tidak bersalah maka kita bisa mengajukan praperadilan, Hal itu merupakan suatu prosedur yang benar dan sesuai dengan UU. Jika Praperadilan gugur kita masih bisa mendapat hak kita yaitu melalui perkara pokok yang dilimpahkan ,jadi sebenarnya kita masih bisa mendapat keadilan.
                Jika pemohon beralasan tidak melakukan tindak pidana yang disangkakan, maka itu menjadi urusan dari penyidik yang harus membuktikan dengan mengajukan minimal bukti permulaan yang cukup seperti yang tertulis pada Pasal 17 KUHAP yakni suatu perintah penangkapan pada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana bukti permulaan yang cukup.
                Saat ini terjadi perbedaan penafsiran tentang bukti permulaan yang cukup karena KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang hal itu. UU mungkin tidak memberi definisi/pengertian yang jelas apa itu bukti permulaan. Memang perlu adanya keseragaman penafsiran untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebab bisa terjadi suatu hal yang dianggap bukti permulaan yang cukup namun oleh pemohon atau Hakim praperadilan yang memeriksanya menganggap belum cukup bukti yang artinya suatu bukti yang diajukan itu tidak/kurang dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan untuk menduga seseorang sebagai pelakunya.
A.      Penangkapan yang tidak sah
                Untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau tidak dengan undang-undang maka harus merujuk kepada ketentuan Pasal 16-19 KUHAP. Dalam pasal tersebut dijumpai syarat sah penangkapan.Setiap penangkapan yang tidak sesuai atau mengabaikan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak sah, tidak berdasar pada undang-undang dan dengan sendirinya diartikan berlawanan dengan hukum. Adapun syarat-syarat penahanan seperti:
1.       Ada surat perintah penangkapan
Surat perintah penangkapan yang sah dan resmi yang memuat dengan terang :
a. Identitas tersangka,
b. Alasan penangkapan,
c. Uraian singkat perkara tindak pidana yang dipersangkakan,
d. Tempat dimana tersangka diperiksa.
2.       Perintah penangkapan didasarkan pada dugaan yang keras dan bukti permulaan yang cukup. Syarat ini harus dipenuhi.Apabila tidak maka tindakan penangkapan dianggap bertentangan dengan Pasal 17 KUHAP.
3.       Paling lama 1 hari.
Batas maksimum penangkapan adalah 1 hari, apabila lebih maka dianggap bertentangan dengan undang-undang (Pasal 19 ayat (1) KUHAP).
4.       Penangkapan terhadap pelanggaran, baru dapat dilakukan setelah dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP.
5.       Tembusan Surat perintah penangkapan diberikan pada keluarga tersangka. Menurut Pasal 18 ayat (3) tembusan surat perintah penangkapan harus segera diberikan pada keluarga tersangka. Jika ketentuan ini dilanggar maka penangkapan bertentangan dengan UU.

B.      Penahanan yang tidak sah
                Untuk penahanan yang tidak sah dikaitkan dengan tuntutan ganti kerugian terdapat hal-hal penting mengenai syarat sah penahanan yakni :
1.       Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasar bukti yang cukup. Mengingat prinsip penahanan yakni temukan dan kumpulkan dulu alat bukti yang cukup. Atas dasar itulah Pasal 21 ayat (1) KUHAP memperkenankan penahanan.
2.       Penahanan dilakukan dengan surat perintah penahanan atau penetapan Setiap penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam tingkat pemeriksaan mesti berlandaskan surat perintah penahanan dan surat penetapan penahanan (Pasal 21 ayat(2) KUHAP).
3.       Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yakni :
a. Tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan yang ancaman hukumannya pidana penjara 5 tahun atau lebih,
b. Melakukan atau percobaan maupun memberi bantuan terhadap tindak pidana yang diperinci satu persatu dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
4.       Penahanan tidak melebihi masa penahanan yang ditentukan dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,Pasal 29 KUHAP.
5.       Penahanan tidak melebihi hukuman yang dijatuhkan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP6012
C.      Tindakan lain tanpa alasan berdasar Undang-undang Yang termasuk hal-hal ini adalah :
1. Kerugian yang ditimbulkan pemasukan rumah
2. Penggeledahan yang tidak sah menurut hukum
3. Penyitaan yang tidak sah menurut hokum

D.      Dituntut dan diadili tanpa alasan undang-undang
                Alasan ini sangat luas,meliputi segala kekeliruan penerapan hukum.Untuk mencari tahu kekeliruan dalam penerapan hukum ini dapat dijumpai terutama pada yurisrudensi seperti :
1. Surat dakwaan batal demi hukum
2. Dakwaan Jaksa tidak dapat diterima
3. Apa yang didakwakan tanpa didukung alat bukti yang sah
4. Apa yang didakwakan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran
5. Apa yang didakwakan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan
6. Kekeliruan mengenai orangnya (error in persona)

E.       Penghentian penyidikan atau penuntutan
Jika melihat penjelasan diatas berarti tersebut tidak memahami apa maksud dari Praperadilan. Boleh saja ia beralasan tidak melakukan suatu tindakan pidana yang disangkakan padanya namun disini harus dilihat dulu apakah penangkapan atau penahanan yang dilakukan sah atau tidak. Jika ternyata memang sah atau telah memenuhi syarat/prosedur apalagi ternyata penangkapan tersebut disertai bukti permulaan yang cukup maka kemungkinan ganti kerugian Praperadilan yang diajukan akan ditolak sekalipun pemohon berargumen ia menderita kerugian meteriil karena tidak dapat bekerja atau lain sebagainya.
                Bukti permulaan yang cukup ialah permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka. Arti bukti permulaan (prima facie evident) berarti bukti sedikit yang menduga ada tindak pidana, misalnya kepada seseorang kedapatan benda/barang curian maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian atau penadahan.
                Menurut H. Djasman Kasto, SH,11 selaku Pengacara tersangka, dikarenakan penangkapan dan penahanan terhadap Arifuddin Semmangga oleh anggota Kepolisian Resort Kukar dan Polsek Marang Kayu pada tanggal 15 Agustus 2012 itu tanpa Surat Perintah dari Pimpinannya (Kapolres Kukar), maka yang bersangkutan mohon melalui kuasa hukumnya untuk memohon praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong. Atas dasar permohonan yang bersangkutan maka kuasa hukumnya dengan berbekal Surat Kuasa Khusus dari Arifuddin Semmangga, maka pada tanggal 10 September 2012 Kuasa Hukum Pemohon melakukan pendaftaran permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong yang terdaftar dengan Nomor 02/Pid.Pra/2012/PN.Tgr.
                Dari pihak keluarga Pemohon telah pula mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Termohon, yang dapat dikatakan tidak mendapat tanggapan yang positif bahkan Termohon melakukan permohonan untuk perpanjangan penahanan ke Jaksa Penuntut Umum dan oleh Jaksa Penuntut Umum permohonan tersebut telah terlanjur dikabulkan sehingga membawa akibat Pemohon tetap ditahan terus di Polres Kukar.
                Sebagai akibat Pemohon tetap dilakukan penahanan oleh Termohon, maka Pemohon menderita kerugian materiel dan immateriel.
1.       Kerugian Materiel
Bila dinilai sehari Pemohon bekerja mendapatkan upah sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sehari, sedangkan penahanan dilakukan selama 60 (enam puluh) hari (sejak penahanan penyidik dan perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum), maka kerugian materiel jelas 60 x Rp. 100.000,- = Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
2.       Kerugian Immateriel
Pemohon menyadrai bahwa kerugian immateriel sebetulnya tidak dapat dinilai dengan mata uang rupiah, namun demikian dalam kasus Praperadilan ini Pemohon menilai bahwa nama baik Pemohon di masyarakat senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
        Dengan demikian kerugian Pemohon keseluruhannya ialah sebesar Rp. 6.000.000,- +                 Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 1.006.000.000,- (satu milyar enam juta rupiah). Melihat kondisi fisik Pemohon dewasa ini dimana selalu mengeluh dan sering sakit-sakitan, di samping itu dimana sebetulnya Pemohon telah berusia 85 tahun, akan tetapi karena ada kekeliruan pada saat pembuatan Kartu Tanda Penduduk sehingga di dalam KTP tercatat/tertulis 17 Desember 1944 dan baru berusia 68 tahun. Dan selama Pemohon berada di dalam Rutan Polres Kukar teraniaya terutama hak kebebasannya dan hak-hak hukumnya.
                Selanjutnya permasalahan tentang kebingungan dalam mengajukan permohonan ganti kerugian menyangkut kewenangan pemeriksaan juga menjadi salah satu kendala seperti contohnya perkara Praperadilan Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr yang gugur karena wewenang pemeriksaan bukan lagi praperadilan namun pengadilan negeri yang dikarenakan perkara pokoknya telah dilimpahkan.
                Berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian tentang sahnya penangkapan, penahanan, serta tindakan lain tanpa berdasarkan yang sah menurut UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan dengan syarat :
a.       Perkaranya hanya sampai pada tingkat penyidikan, atau
b.      Perkaranya hanya sampai pada tingkat penuntutan seperti disebut Pasal 138 ayat (1) KUHAP, atau
c.       Perkaranya tidak diajukan ke sidang Pengadilan
Tuntutan ganti kerugian yang disebut dalam Pasal 77 huruf b :
a.       Atas alasan penghentian penyidikan,atau
b.      Atas alasan penghentian penuntutan
c.       Pengadilan negeri yang berwenang
                Wahyudi Said, SH., MH menerangkan penetapan praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga harus memuat amar. Amar yang harus dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan. Alasan permintaan yang menjadi dasar isi amar penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan, keluar dari jalur yang ditentukan undang-undang. Amar penetapan praperadilan, bias berupa pernyataan yang berisi :
a.       Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
                Jika dasar alasan permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang disebut Pasal 79, maka amar penetapannya pun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
b.      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
                Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar penetapan praperadilan memuat pernyataan mengenai sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
c.       Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
                Disinipun demikian halnya, jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
d.      Perintah pembebasan dari tahanan.
                Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a. agar penetapan praperadilan memuat amar yang memerintahkan tersangka segera dibebaskan dari tahanan. Amar yang demikian merupakan keharusan dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dan praperadilan berpendapat penahanan tidak sah, amar putusan praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah seperti, penahanan tidak sah dan perintah membebaskan tersangka dari tahanan.
                Dengan dicantumkannya amar yang berisi perintah membebaskan tersangka dari tahanan, penyidik atau penuntut umum harus segera membebaskan dari tahanan.
e.      Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
                Mungkin ada yang berpendapat, amar ini tidak mutlak dicantumkan dalam penetapan praperadilan. Alasanya, dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung perintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan penuntutan dilanjutkan. Karena itu, sekiranya praperadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penuntut umum melanjutkan penuntutan. Akan tetapi, untuk sempurna serta berpedoman pada bunyi rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b, tidak ada salahnya mencantumkan amar yang demikian.
f.        Besarnya ganti kerugian.
                Apabila alasan pemeriksaan praperadilan berupa permintaan ganti kerugian baik oleh karena tidak sahnya penangkapan atau penahanan, amar putusan praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti kerugian yang dikabulkan.
g.       Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka.
                Jika alasan permintaan pemeriksaan berhubungan dengan rehabilitasi, amar putusan memuat pernyataan pemulihan nama baik pemohon kalau permohonannya dikabulkan.
h.      Memerintahkan segera mengembalikan sitaan.
                Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d. apabila alasan permintaan pemeriksaan praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik sebab dalam penyitaan ada yang termasuk benda yang tidak tergolong alat pembuktian. Atau sama sekali tidak tersangkut dengan tindak pidana yang sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk sebagai benda alat pembuktian. Putusan praperadilan harus memuat amar yang memerintahkan benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
                Bahwa tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeldahan, penyitaan, dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan penggeledahan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.
                Ditambahkan bahwa pemeriksaan praperadilan bisa gugur. Artinya pemeriksaan-pemeriksaan praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan. Atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d, yang berbunyi “ Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur ”. Memperhatikan ketentuan, gugurnya pemeriksaan praperadilan.Itulah yang menyebabkan gugurnya pemeriksaan permintaan praperadilan. Apabila perkara pokok telah diperiksa pengadilan negeri, sedang praperadilan belum menjatuhkan putusan, dengan sendirinya permintaan praperadilan gugur. Ini dimaksudkan untuk menghindari putusan yang berbeda.Oleh karena itu, lebih tepat pemeriksaan praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan, dan sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik kedalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutusnya.
                Permintaan putusan yang dijatuhkan praperadilan dalam tingkat pemeriksaan penyidikan tidak dapat menggugurkan hak tersangka, karena yang bersangkutan masih tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan dalam tingkat penuntutan, jika itu memang ada alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Dalam tingakat penuntutan masih bisa diajukan permintaan atas alasan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penuntut umum, atau penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.
                Oleh karena itu, dalam suatu kasus perkara, bias terjadi dua kali permintaan pemeriksaan praperadilan. Bahkan bukan hanya dua kali saja, tetapi bias beberapa kali. Yang menggugurkan hak pemohon mengajukan permintaan, hanya ditentukan oleh pemeriksaan perkara yang bersangkutan disidang Pengadilan negeri. Apabila perkara telah diperiksa di sidang Pengadilan Negeri, gugur haknya untuk mengajukan permintaan pemeriksaan kepada praperadilan.
                Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menarik kesimpulan tujuan dan filosofis eksistensi lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Oleh karena itu, tujuan dibentuknya praperadilan ini tidak lain adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan ini juga berfungsi sebagai alat control terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya.
2.       Implementasi Lembaga Praperadilan untuk Perlindungan Hukum Hak-sHak Tersangka Khususnya Perlindungan dari Upaya Paksa
                Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah , agar tindakannya betul-betul berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.
                Untuk lebih memahami implementasi Lembaga Praperadilan, maka penulis mencoba mengkaji Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga yang amar putusannya menyatakan gugur permohonan pemeriksaan praperadilan dari Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga dan Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Nihil, dengan fakta hokum sebagai berikut:
Terhadap perkara Pemohon Praperadilan atas nama Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Tenggarong ke Pengadilan Negeri Tenggarong pada hari Selasa tanggal 25 September 2012 di bawah register Pidana No. 394/Pid.B/2012/PN.Tgr dimana dengan adanya Pelimpahan Perkara tersebut dan telah dicatat dalam register maka proses pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri telah dimulai. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan Pemeriksaan mengenai Permintaan Kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Dengan didasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dihubungkan dengan fakta hukum tersebut di atas dimana perkara aquo sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tenggarong dan sudah dicatat dalam register maka permohonan pemeriksaan praperadilan ini haruslah dinyatakan gugur dengan membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebagaimana amar putusan ini.
                Sebagaimana telah diuraikan di atas, dimana pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2012 Pemohon sedang bekerja di kebunnya di KM. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara, tiba-tiba didatangi oleh beberapa orang petugas dari Kepolisian Sektor Marang Kayu dan dari Kepolisian Resort Kukar, lalu melakukan penangkapan yang dilanjutkan dengan tindakan penahanan di Kantor Kepolisian Resort Kukar Tenggarong.
                Pada saat petugas-petugas tersebut melakukan penangkapan terhadap pemohon di kebunnya tidak menunjukkan Surat Perintah Penangkapan dari Kotamadya bahkan belum dibuatkan Surat Perintah Penangkapan apalagi Surat Perintah Penahanan, karena beberapa saat setelah Pemohon tiba di Kantor Kepolisian Resort Kukar Tenggarong barulah disodorkan Surat Perintah Penangkapan dan Berita Acara Penangkapan untuk ditandatangani oleh Pemohon.
                Pemohon tidak bersedia menandatangani Surat Perintah Penangkapan maupun Berita Acara Penangkapan karena Pemohon tidak merasa bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan/disangkakan kepadanya yaitu telah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951.
                Berdasarkan landasan hukum tersebut di atas, konsekuensi yuridis bahwa tindakan Kepolisian Resort Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon yang dituduh/disangka telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndag Darurat No. 12 Tahun 1951 adalah diperkirakan tidak terbukti atau tidak memenuhi salah satu atau keseluruhan unsur-nya Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951.
                Hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 2 ayat (2) UU Darurat No. 2 Tahun 1951 yang menyatakan:
“Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan pertanian atau untuk pekerjaanpekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaargheid)”
                Apabila kita mengkaji dari kasus yang menyangkut masalah senjata tajam, ternyata ada kasus yang sama dengan kasusnya Pemohon sampai pada tingkat Kasasi yang telah diputuskan oleh Majelis Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 103.K/Kr/1975 tanggal 12 Agustus 1976 yang menyatakan:
“Buat seorang petani, arit, cangkul dan parang adalah alat pekerjaan sehari-hari yang tidak dapat dianggap termasuk senjata tajam yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951”. (sebagaimana dimuat dalam Buku Rangkuman Yurisprudensi MA RI, Cetakan Kedua Tahun 1993. hal. 379)
                Pemohon menambahkan bahwa sebelum Polres Kukar dan Polsek Marang Kayu melakukan tindakan penangkapan sebagaimana diuraikan di atas, Polres Kukar bersama Polsek Marang Kayu yaitu pada tanggal 13 Juni 2012 juga melakukan penangkapan terhadap diri Pemohon dengan kualitas yang sama yaitu tidak membawa Surat Perintah Penangkapan dan dibawa ke Tenggarong.
                Baru sampai di Pos Polisi Lalu Lintas yaitu di persimpangan tiga Samarinda yang menuju ke Tenggarong dan Sebulu, bertemu dengan anaknya Pemohon (Akbar) dari Bontang yang tujuannya untuk menjemput Pemohon, dimana Pemohon dalam keadaan pingsan, maka dimohon oleh Akbar untuk dimasukkan ke Rumah Sakit yang akhirnya Pemohon dirawat di Rumah Sakit YABIS Bontang selama 2 (dua) hari/malam.
                Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon mengajukan permohonan kepada yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong cq Yang Mulia Hakim 21 yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara praperadilan ini berkenan menyatakan:
a. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
b. Menyatakan Pemohon terbukti pada tanggal 15 Agustus 2012 membawa senjata tajam di dalam kebunnya yang terletak di Km. 29 Desa Sebuntal Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kukar namun perbuatan Pemohon tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951;
c. Menyatakan tindakan Termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon adalah merupakan perbuatan melawan hukum dari Termohon dan karenanya tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon tidak sah atau cacat hukum;
d. Memerintahkan Termohon untuk segera membebaskan Pemohon dari tahanan Polres Kukar;
e. Memerintahkan Termohon untuk membayar ganti rugi yang diderita oleh Pemohon sebesar Rp. 1.006.000.000,- (satu milyar enam juta rupiah) sebagaimana perinciannya telah diuraikan di dalam posita;
f. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.
Subsidier:
Apabila Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
                Pada hari persidangan yang telah ditentukan, Pemohon hadir kuasanya Sudung Sinaga, SH dan Riyono Pratikto, SH dan Djasman Kasto, SH., Advokat Pengacara/Penasihat Hukum pada Kantor Pengacara/Penasihat Hukum Sudung Sinaga, SH dan Rekan, yang berkedudukan di Jalan Imam Bonjol No. 01 Samarinda, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 30 Agustus 2012, sedangkan untuk Termohon hadir kuasanya Kompol Muh. Daud, SH., MH., dan Kompol Sukarman, SH dan AKP Supartono Sudin, SH., MH, anggota Polri pada Bidang Hukum Polda Kaltim, beralamat di Jl. Syarifuddin Yoes No. 99 Balikpapan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 September 2012 dan Surat Perintah Nomor: Sprin/1016/IX/2012 tertanggal 13 September 2012. Selanjutnya Pemohon membacakan permohonannya dan menyatakan ada perubahan permohonan sebagaimana terlihat dalam Berita Acara tertanggal 18 September 2012.
                Untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat berupa fotocopy surat-surat yang telah dilegalisir dan telah diberi materai secukupnya, serta telah dicocokkan dengan aslinya di depan persidangan, yaitu:
a. Copy Photo Pemohon pada saat dilakukan penangkapan di lokasi kebun di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar pada tanggal 15 Agustus 2012
b. Copy Photo lokasi kebun Pemohon di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar pada tanggal 15 Agustus 2012
c. Copy Photo tanaman singkong di lokasi kebun Pemohon di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar pada tanggal 15 Agustus 2012
d. Copy Photo tanaman singkong dan potongan batang singkong yang akan ditanam oleh Arifuddin Semangga alias Datuk di lokasi kebun pemohon di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar pada tanggal 15 Agustus 2012
e. Copy Photo pondok milik Pemohon di kabun di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar pada tanggal 15 Agustus 2012 f. Copy Berita Acara Penolakan Tanda Tangan dari tersangka Arifuddin Semangga alias Datuk pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 2012
g. Surat tanda terima No. STP/156/VIII/2012/Reskrim tertanggal 16 Agustus 2012; yang tidak ditandatangani oleh Arifuddin Semangga alias Datuk
h. Copy Surat Perintah Penangkapan a/n. Arifuddin Semangga alias Datuk No. SP Kap/130/VIII/2012/Reskrim bertanggal 15 Agustus 2012 yang tidak ditandatangani oleh yang bersangkutan
i. Copy Surat Pemberitahuan kepada keluarganya tentang Surat Perintah Penahanan a/n Arifuddin Semangga alias Datuk No. SP Han/130/VIII/2012/Reskrim bertanggal 16 Agustus 2012 yang tidak ditandatangani oleh yang bersangkutan
j. Copy Surat Pemberitahuan Penahanan Tersangka Arifuddin Semangga alias Datuk tanggal 18 Agustus 2012 No. B/90/VIII/2012/Reskrim kepada Sdr. 23 Akbar Arifuddin atau keluarganya yang tidak/belum ditandatangani oleh yang bersangkutan
k. Copy photo tindakan penyidik/Kepolisian dari Kepolisian Resort Kukar dan Polsek Marang Kayu pada tanggal 13 Juni 2012 melakukan penangkapan terhadap Arifuddin Semangga alias Datuk di lokasi kebunnya di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar, yang mengakibatkan yang bersangkutan jatuh pingsan dan akhirnya dirawat di RS Yabis Bontang selama 2 (dua) hari/malam
l. Sebuah VCD proses penangkapan terhadap Pemohon di lokasi kebunnya yang terletak di Km. 29 RT. 21 Desa Sebuntal Kec. Marang Kayu Kab. Kukar, baik tanggal 15 Agustus 2012 dan tanggal 13 Juni 2012, agar menjadi jelas, kiranya yang Mulia Hakim yang memeriksa/menyidangkan perkara A Quo berkenan mengizinkan untukmemutarnya.
                Di samping alat bukti surat tersebut di atas, Pemohon juga mengajukan bukti saksi-saksi dan saksi tersebut telah disumpah sesuai dengan agamanya dan memberikan keterangan di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a.       Saksi Zainal bin Arifuddin
1) Saksi adalah anak kandung dari Pemohon praperadilan
2) Berdasarkan KTP saksi, maka saksi sekarang ini bertempat tinggal di Nunukan
3) Saksi tidak mengetahui kejadian penangkapan Pemohon;
4) Saksi hanya mengetahui jika pemohon pernah menutup jalan hauling milik PT. Mahakam Sumber Jaya dengan menggunakan tali rafia pada tahun 2012
5) Pemohon menutup jalan hauling tersebut karena merasa jika jalan hauling tersebut dibuat di atas tanah kebunnya yang sampai sekarang belum jelas mengenai ganti ruginya
6) Pemohon sudah pernah mendapat ganti rugi dari PT. MSJ dengan total sebesar Rp. 93.000.000,- (sembilan puluh tiga juta rupiah)
7) Akibat penutupan tersebut, maka kendaraan perusahaan tidak bisa lewat dan melintas di jalan tersebut
8) Kemudian sekitar jam 5 sore datang petugas Kepolisian yang meminta agar jalan hauling tersebut dibuka kembali, namun pihak pemohon tidak mau, sehingga terjadilah tarik menarik antara pemohon dan petugas Kepolisian
9) Setelah kejadian tersebut, petugas lalu meninggalkan tempat kejadian dan saksi lalu membawa Pemohon ke rumah kebun milik Pemohon
10) Tidak lama kemudian saksi melihat pemohon mengalami kejang-kejang, lalu saksi meminta bantuan kepada sekurity untuk embawa pemohon ke rumah sakit
11) Dengan pertimbangan keluarga yang dekat maka Pemohon di bawah ke rumah sakit Yabis Bontang dan sempat dirawat selama dua hari
12) Pada waktu itu tidak terjadi penangkapan terhadap pemohon.
b.      Saksi Akbar bin Arifuddin
1) Saksi adalah anak kandung pemohon praperadilan
2) Saksi berdomisili di Bontang dan sering ke daerah Marang Kayu untuk
membantu Pemohon bekerja di kebun
3) Saksi melihat proses penangkapan terhadap pemohon pada sore hari
tanggal 15 Agustus 2012 di jalan hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu
Kabupaten Kutai Kartenegara dan saksi sempat merekam kejadian
tersebut
4) Proses penangkapan tersebut terjadi di jalan hauling yang menurut
pemohon itu adalah tanah milik pemohon
5) Kejadiannya berawal pada waktu pemohon menutup jalan hauling dengan
menggunakan tali rafia sambil membawa parang di pinggang
6) Setelah itu pemohon lalu bekerja di kebunnya memotong-motong batang
ubi kayu untuk ditanam
7) Tidak lama kemudian Polisi berpakaian preman datang dan membentakbentak
pemohon di jalan hauling tersebut dengan posisi parang ada di
pinggang kiri pemohon
8) Kemudian petugas tersebut lalu menangkap pemohon dan membawa ke
Polres Kutai Kartanegara bersama dengan saksi
9) Sesampainya di Polres, saksi dan pemohon diperiksa dalam ruangan
terpisah dan saksi tidakmelihat mengenai proses penandatanganan surat
penangkapan
10) Pemohon sekarang ditahan di Polres Kutai Kartanegara.25
                Di samping saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon, Termohon telah pula mengajukan saksi-saksi di bawah sumpah sesuai dengan agamanya, yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
a.       Saksi Indrajid Wahyu Bramantyo
1) Saksi adalah Karyawan PT Mahakam Sumber Jaya (PT MSJ) dengan Jabatan Eksternal Super Intendent
2) Saksi tidak melihat kejadian penangkapan pemohon tersebut
3) Pemohon sudah sering menutup jalan hauling PT MSJ
4) Permasalahan antara PT MSJ dengan masyarakat sekitar sudah diselesaikan dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan ada rekomendasi dari Pemerintah Daerah bahwa kawasan tersebut masukdalam kawasan hutan dan kepada para penggarap hanya diganti tanam tumbuh di atasnya
5) PT MSJ sudah pernah mengganti tanah tumbuh di atas tanah yang diakui sebagai milik Pemohon sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sebagaimana bukti terlampir
6) Pemohon juga sudah diberi ganti rugi lagi sebesar Rp. 38.000.000,- (tiga puluh delapan juta rupiah).
b.      Saksi I Made Sampun
1) Saksi adalah Anggota Polri pada Polres Kukar
2) Saksi yang menangkap Pemohon
3) Kejadian penangkapan tersebut terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2012 sekitar jam 16.30 sore hari di jalan Hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara
4) Pada waktu itu, saksi bersama anggota yang lain meluncur ke PT MSJ berdasarkan Surat Perintah untuk mengamankan daerah tersebut karena ada penutupan jalan hauling
5) Sesampainya di lokasi kejadian, saksi melihat ada tali rafia yang dipasang menutupi jalan
6) Saksi kemudian membuka tali rafia tersebut dan langsung meluncur ke kantor PT MSJ26
7) Setelah saksi kembali dari kantor PT MSJ tersebut, saksi melihat Pemohon sedang berbicara dengan petugas di jalan hauling tersebut sambil membawa parang yang digantung di pinggang kiri pemohon
8) Saksi lalu menangkap pemohon dan membawa ke Polres Kutai Kartanegara untuk diserahkan kepada penyidik
9) Pada waktu itu pemohon hanya membawa parang di pinggang dengan posisi tidak dicabut dari sarungnya
10) Saksi tidak pernah melihat bentuk parang tersebut.
c.       Saksi Bambang Wahyudi
1) Saksi adalah penyidik pada Polres Kutai Kartanegara
2) Pada tanggal 15 Agustus 2012 masuk laporan polisi model A an terlapor saudara Pemohon
3) Saksi lalu mengadakan pemeriksaan dan berdasarkan hasil pemeirksaan lalu dikeluarkan penahanan atas diri pemohon
4) Saksi melihat brang bukti parang tersebut dan mencabut parang tersebut dari sarungnya dimana satu sisinya tajam dan sisi lainnya tumpul
5) Saksi lalu memperlihatkan parang tersebut kepada Pemohon dan diakui oleh pemohon sebagai parang yang dibawanya.
                Pada persidangan berikutnya, Pemohon melalui kuasanya dan Termohon melalui kuasanya mengajukan kesimpulan, dan pada akhirnya kedua belah pihak menyatakan tidak ada lagi yang akan diajukan dan selanjutnya mohon putusan.
                Mengingat dan memperhatikan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d dan pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan perundangan lain yang berhubungan dengan perkara ini:
MENGADILI
a.       Menyatakan gugur permohonan pemeriksaan praperadilan dari Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga;
b.      Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Nihil.
                Demikian diputuskan pada hari Rabu tanggal 26 September 2012 oleh Wahyudi Said, SH., M.Hum., Hakim Pengadilan Negeri Tenggarong sebagai Hakim Tunggal, putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh hakim tersebut dan dibantu oleh Hj. 27 Zaidar Rohaini, SH., Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tenggarong dengan dihadiri oleh Kuada Pemohon dan Kuasa Termohon.
                Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa tentang putusan gugur. Menurut Pasal 81 Ayat (1) huruf d KUHAP, apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa/ disidangkan.Benar, bahwa tentang sah-tidaknya penangkapan atau penahanan yang tadinya dimohonkan praperadilan bisa saja diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pokok, sehingga tidak menjadi masalah andaikan praperadilan dinyatakan gugur karena perkara pokok sudah mulai diperiksa.
                Akan tetapi alangkah mubazirnya lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya dengan alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan gugur.Ketentuan ini menjadi celah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara buru-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Segi negative yang timbul adalah karena pelimpahan itu tidak matang, akibatnya berkas perkara (khususnya surat dakwaan) yang diajukan ke pengadilan merupakan berkas perkara yang asal jadi.
                Dapat dibayangkan apa yang terjadi misalnya kalau tindakan seperti ini dilakukan dalam menangani kasus-kasus megakorupsi, narkoba atau terorisme. Tidakkah hal ini akan membuat wajah penegakan hukum di negeri ini semakin buram? Mestinya ketentuan ini dihapuskan. Perlu diberi kesempatan yang seluasluasnya kepada pengadilan untuk memutus substansi setiap praperadilan. Dan lagi pula tenggat pemeriksaan praperadilan sudah dibatasi selama tujuh hari, mengapa kesempatan yang sangat singkat itu pun harus dirampas hanya dengan alasan telah dimulainya pemeriksaan perkara pokok oleh pengadilan negeri.
                Sebagai negara yang berdasar atas hukum, kita harus konsekuen menerapkan praperadilan sebagai lembaga pengawasan horizontal oleh pengadilan negeri yang tidak setengah hati terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Apabila masih ada putusan gugur terhadap praperadilan hanya dengan alasan klise perkara pokok sudah mulai diperiksa, dikhawatirkan tujuan pengawasan itu tidak akan pernah tercapai.
                Dampaknya ialah bahwa kepolisian dan kejaksaan merasa aman-aman sajamelakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum tanpa pernah merasa dapat diawasi sekalipun pengawasan itu diberikan berdasarkan undang-undang. Yang dirugikan adalah pihak yusticiabelen (pencari keadilan). Dan lagi pula, andaikan hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum tidak sah, hal tersebut tidak berdampak terhadap substansi perkara pokoknya. Sebab sesaat setelah putusan praperadilan memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan lantaran penahanan tidak sah (misalnya), saat itu juga pihak berwajib dapat melakukan penangkapan atau penahanan yang sah terhadapnya.
                Hanya saja, sebagai lembaga yang modern dan profesional, baik kepolisian maupun kejaksaan harus siap mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan apabila ia digugat ganti rugi secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan penangkapan atau penahanan yang dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan.
                Dalam hal praperadilan menyangkut sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, jelas tidak berdampak terhadap persoalan materi perkara pokok karena memang sejak awal penyidik atau penuntut umum sudah menghentikan penyidikan atau penuntutannya.
                Selanjutnya upaya hukum terhadap Putusan Praperadilan adalah final, tidak ada upaya banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Kecuali terhadap sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan banding.
                Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1983 tentang Hakim Tidak Dapat di Praperadilkan yang intinya menyatakan bahwa hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Alasannya adalah karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu adalah hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dimana Pasal 83 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya. Oleh karena itu, apabila ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas dasar Pasal 77 KUHAP, maka permintaan tersebut harus ditolak, penolakan mana dapat dilakukan dengan surat biasa di luar sidang.
                Menurut Romli Atmasasmita untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
                Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
                Menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:
1. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
2. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
3. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
                Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.
KESIMPULAN
                Tujuan dibentuknya praperadilan ini tidak lain adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan ini juga berfungsi sebagai alat control terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya
                Titik berat perhatian pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan yang diwenangkan atau tidak. Bahwa praperadilan memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan.
Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeldahan, penyitaan, dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran.
Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas permintaan dan kuasa tersangka.
Ketiga, hakim lebih banyak mempehatikan perihal dipenuhi tidaknya syaratsyarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP) dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya
Keempat, sebagaimana ternyata dalam praktek selama ini dalam pemeriksaan praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.31
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Lintong Oloan Siahaan, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia,         Jakarta, 1981
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,            Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika,Jakarta, 2006

Oemar Seno Adji, Hukum, Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar